Jumat, 28 Desember 2007

AKTOR-AKTRIS kehidupan keluarga

Sore itu sepulang gereja Misa Minggu ”Pesta Keluaga Kudus“, Adi, Ridho, Rima, dan beberapa teman mantan MUDIKA katedral yang lain masih asyik ngobrol dan sharing sekitar keluarga mereka. Maklum moment seperti ini sekalian digunakan untuk reunion.

Seperti biasa kalo sudah keasyikan pembicaraan pun dibumbui dengan akting dan peragaan....ya, biar suasana lebih hiduplah.

***
“Hai Wawan, habis makan, piring langsung cuci!” Oki berakting menirukan Ibunya Wawan. Semua jadi tertawa melihat Oki dan mengenang saat mereka main dan makan bersama di rumah Wawan.
”Aku juga punya pengalaman” Rima berdiri dan......“Wah wah wah.....bisa jadi sarang nyamuk ini! Ayo Rima, tumpukan pakaimu segara cuci! Cuma masukkan mesin cuci, tekan tombol, beres apa susah sich!” rupanya ia berperan sebagai mamanya sendiri ”Teman-teman, tahu apa tanggapan ku?” tanya Rima ”paling-paling kamu masuk kamar dan baca novel” serentak teman-teman menjawab
“Luci, tolong sapukan ruang depan, kotor…kalau ada tamu gimana? Ntar malu-maluin, jorok….gi, sapu sana!”
”Dito, tolong papa ambilkan kotak perkakas di dekat rak sepatu!”
”Hai, jorok kali kamu ini.....sepeda kotor macam begini dibiarkan aja, ayo cuci sana!”
...............dan kenangan-kenangan satu persatu bermunculan.

Nah, kalo diteruskan Dialog sejenis itu, bisa jadi litani umpatan, deretan kejengkelan yang keluar dari seorang ibu atau seorang ayah yang biasa kita sebut orang tua dalam keluarga. Mengapa demikian? Ya...karena tak jarang seruan dengan nada minta tolong sampai dengan aksi bentak-bentakan yang ditujukan kepada anak-anak tersebut mendapat respon nol (baca : didengarkan tapi tidak dikerjakan) dari mereka.

”Tapi, di keluarga Pak Manto gak seprti itu.” komentar Ridho ketika kami membicara hal tersebut di atas.
“Iya, di keluargaku pun, hal itu gak terjadi” sambung Adi ”ya....karena itu semua hal yang biasa bagi kami di dalam rumah. Kami sejak kecil sudah terbiasa dengan peran dan tugas kami masing. Kadang saya harus ngepel, adikku nyuci piring sehabis kita makan. Jadi aku dan istriku juga menerapkannya di keluarga. Pokoknya kalo seperti itu sich biasa bagiku, di keluargaku” Adi menambahkan.

Dan.....pembicaraan mereka pun terus berlanjut .........sharing, diskusi, sampai debat pun terjadi. Ya memang dari dulu, sejak mereka di MUDIKA seperti itu

”Ok, ok......setelah panjang lebar kita ngobrol, biar gak menguap begitu saja seperti embun dicium mentari, sebenarnya dalam konteks ini, yang utama apa toh? Terus bagamaina kita belajar darinya?” Dicky menengahi pembicaraa sambil bergaya sebagai moderator ”Ada komentar Danni?”

Yang di tanya merenung sejenak.......”Kesepakatan" kata ini keluar dari mulut Danni

1. Kesepakatan
”Ini masalah PERAN dalam keluarga” Danni meneruskan “Sebagai Suami sekaligus Bapak, sebagai Istri sekaligus Ibu, sebagai anak-anak. Dan dalam masing-masing peran melekat tugas dan tanggung jawab. Belajar dari banyak keluarga, termasuk keluargaku sendiri, aku merasa bahwa papaku selama ini berperan sebagai pelindung keluarga dan pencari nafkah titik. Selebihnya semua peran yang lain dirangkap oleh mamaku merawat, mendidik, mengasuh, dll. Yang sering bikin mamaku stres, marah-marah dan yang kena marah-marahnya biasa kami anak-anaknya......It’s ok, ini bukan soal salah atau benar.
Yang penting bagiku aku telah belajar sesuatu dari papa dan mama, pentingnya kesepakatan. Jadi ketika kami memutuskan menikah aku dan Teddy suamiku, secara sadar sepakat sebagai suami-istri, ayah-ibu......semua mempunyai tugas rangkap dalam keluarga. Ini meringankan diriku, apa yang kami lakukan kami nikmati sebagai sebauh kebersamaan. Kami sepakat juga bahwa proses ini bisa kami pakai sebagai sekolah kehidupan bagi anak-anak kami.”


2. Keteladanan

”Ok. Itu tadi satu tips dari Danni tentang peran dalam keluarga. Tapi menurutku masih perlu di tampakan dengan integritas dari yang membuat kesepakatan. Yang aku maksud adalah orang tua. Maksudnya bagaimana kita-kita ini gak jadi ”gajah diblangkoni iso ngeja rah iso nglakoni” (arinya bisa mengeja/bicara gak bisa melakukan) atau NATO (no action talk only). Dengan kata lain kita patut jadi teladan bagi anak-anak kita” Rima ikut menyumbang dengan satu tips keteladanan.

”Aku jadi seperti ini, seperti yang bisa teman-teman tebak dalam percakapan tadi, itu karena aku sering jengjel” Rima terdiam sesaat sambil mengenang pengalamannya ”Ayah-Ibuku orang yang terpelajar, mereka punya karir yang baik. Dan aku yakin mereka punya wawasan yang baik juga tentang peran dalam keluarga. Sehingga dalam keluarga kami jelas peran kami masing-masing termasuk tugas dan tanggung jawabnya. Misalnya : setelah makan piring-gelas langsung bawa ke dapur dan bibi/pembantu yang mencuci, atau tumpukan pakai kotor segera keluarkan dari kamar dan bawa ke tempat pakaian kotor dekat mesin cuci supaya segera di cuci oleh pembantu, dan sebenarnyanya masih banyak contoh lain.” Rima menerik nafas sejenak ” Tapi Ayah maupun ibuku sering melanggarnya dengan alasan lupa atau karena ada yang harus dikerjakan sehingga terburu-buru. Memang tampaknya hal-hal sepele tapi terakumulasi dalam diriku. Dan kalo Ayah-ibu ibu yang sudah dewasa gak melaksanakan apa yang sudah disepakati. Buat apa aku susah-susah mau malaksanakan kesepakatan itu. Lebih enak baca novel.
Orang tuaku asyik dengan binisnya sendiri-sendiri. Aku menjadi apatis dengan pekerjaan di rumah, aku jadi masa bodoh dengan tugas dan tanggung jawabku di rumah. Yang aku butuhkan saat itu sebagai seorang anak adalah keteladanan tapi tidak aku temukan. Dan aku pun di rumah menjadi semau gue karena gak punya panutan.
Maka menurutku keteladan menjadi sikap hidup yang penting ketika kita berbagi peran dalam keluarga, terutama keteladan dari kita-kita sebagai orang tua.” sambil tersenyum Rima memberi penekanan pada baris terakhir kalimatnya.


3. Tegas bukan berarti kaku

”hehehe....... kalo di keluargaku jika ada yang melanggar kesepakatan tentu dapat tindakan tegas” suara Adi ringan.
”Dasar keluaga tentara!” seru teman-teman bersama-sama.
”Apa rugi? Justru keuntungan bagi keluargaku, sikap tegas papaku. Papa selalu jadi penegak hukum. Siapa yang melanggar kesepakatan mesti mengambil tanggung jawab dan melaksankan kesekuensinya. Seperti contohnya : siapa yang pulang terlambat harus menghubungi orang di rumah. Suatu kali papa pulang terlambat karena ada urusan mendesak sehingga lupa telpon ke rumah. Sebagai konsekuensinya beliau mengajak kami sekeluarga makan malam bersama di luar esok hari.
Contoh lainnya : ketika aku bertugas membersih kamar mandi di hari Minggu, tapi gak aku kerjakan malah aku tinggal bersepada ria dengan teman-teman. Sepulang dari bersepeda aku di panggil Papa dan dia Cuma bertanya ’kamu tanggung jawabmu, Adi? Apa yang akan kamu lakukan sebagai konsekuensinya?’ saat itu aku putuskan untuk mencuci mobil papaku sebagai ganti membersihkan kamar mandi, deal.
Pada sisi ini selain aku belajar sikap tegas, kami juga mempunyai sosok yang memberikan keteladanan yaitu papaku. Namun yang menarik bagiku dalam sikap tegasnya kami menemukan kasih. Karena beliua tidak kaku dalam menerapkan konsekuensi dari sebuah tindak pelanggaran, kami bisa memilih asalkan setimpal dengan tanggung jawab yang diberikan, seperti contoh tadi membersihkan kamar mandi diganti dengan mencuci mobil.”


4. Kepercayaan

”Enak ya Di, kamu sejak kecil sudah di percaya dengan tanggung jawab yang kamu terima di rumahmu” komentar Wawan ”Sampai sekarang, sekalipun aku sudah menikah. Aku merasa bahwa mama tidak pernah percaya pada diriku bisa menyelesaikan tanggung jawab yang di berikan kepadaku. Contoh-contoh sederhana menyapu lantai, seterika atau yang lainnya selalu dicela, selalu tidak benar bahkan tak jarang pekerjaan itu langsung diambil alih.
Sama seperti yang diungkapkan Danni, ini bukan soal salah benar.
Setelah semua proses yang aku alami sejak masa kecilku, aku menyadari : mengapa selama ini aku kurang percaya diri? Sering takut salah? Sering menghidar jika di beri tanggung jawab? Karena aku merasa tidak pernah di beri kepercayaan, aku aku selalu salah di mata mamaku ini yang melekat dan terprogram di bawah sadarku. Untuk itu aku telah belajar dari mamaku dan berjanji nanti kalo dianugerahi momongan (baca: anak), aku akan memberi kepercayaan atas tanggung jawab yang akan kuberikan sementara menjadi pembimbing lebih bijaksana daripada pencela.

”Danni tadi menyinggung bahwa rumah, keluarga adalah salah satu sekolah kehidupan bagi anak-anak, juga buat kita para orang tua. Maka kita harus berendah hati untuk juga mau belajar dari anak-anak kita, berani keliru belajar dari kekeliruan itu.
Kita semua punya peran. Dalam peran terkandung tugas dan tanggung jawab. Mari kita di keluarga masing-masing jadi Aktor-aktris kehidupan melalui kesepakatan yang kita buat, melalui sikap keteladanan kita, berani tegas tapi tidak kaku dan membangun kepercayaan dengan pengahayatan kasih agar kedamaian dan cinta tumbuh dalam keluarga kita seperti keluarga kudus yang kita peringati hari ini” Dicky memberi kesimpulan seperti layaknya moderator
”1-2-3” serentak menyerbuh Dicky dengan menjitak, mencubit dan menggelitik. Dan tawapun berderai di antara mereka.

Setelah saling mengucapkan terima kasih atas perjumpaan hari ini. Merekapun saling berpamitan untuk ke keluarga masing-masing.

Tak terasa malam kian larut, kenangan canda-tawa, keakraban dan pembelajaran untuk menghayati peran apa yang telah kami mainkan dan akan kami mainkan sebagai aktor-aktris kehidupan keluarga, di panggung rumah tangga bersama pasangan hidup dan buah hati tercinta................Terima kasih teman-teman.

***
Cerita dan obrolan ini hanya fiktif belaka.








Oleh :
AMBROsius BATA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar