
Timbangan di sebuah toko meracang (baca : sembako) kecil sedang digunakan untuk menimbang telor. Dan terlihat sudah balance 5 kg timbel. Ya...seorang ibu muda telah menyerahkan uang Rp 100.000,00 untuk 5 kg telor ayam kampung. Setelah menerima uang kembaliannya, dia meninggalkan toko itu dengan menenteng keranjang plastik besar warna hijau muda yang penuh dengan belanjaan termasuk telor yang baru di beli.
Telor-telor dalam bungkus plastik terlihat gembira, gembira karena dia akan berguna. Ini lan saat yang mereka nanti. Telor menjadi berarti saat dimanfaatkan oleh sang pembeli.
”Wauw........kira-kira aku nanti di manfaatkan untuk apa ya?” kata satu telor seperti bicara pada diri sendiri.
”Aku ingin di jadikan telor rebus, asyik dan indah sekali kalo dipakai untuk menghias tumpeng atau nasi kuning” sambung yang satu lagi.
”Kalo aku sich lebih suka dijadikan telor mata sapi. Karena terlihat menarik paduan putih telor dipinggir dan kuning telornya di tenga sebagai bola matanya. Wah....kalau terjadi padaku pasti menyenangkan sekali” kata telor yang mempunyai ukuran paling besar dibanding yang lain. Mereka, para telor tenggelam dengan imajinasi masing-masing, membayang apa yang diinginkan membayangkan wujud kehadirannya dinikmati manusia.
”Aku ingin dieramkan saja....kan, nanti dapat menetaskan ayam dan ayamnya kalo sudah besar bisa bertelor lagi. Jadi aku bisa memunculkan kehidupan yang baru. Dan terus berkembang biak” kata yang lain lagi.
Sekarang keranjang sudah berada di dapur, belajaan di dalamnya satu persatu mulai di kkeluarkan. Ketika telor dikeluarkan langsung di tata di meja bersama tepung terigu, mentega, susu, coklat dan di sebelahnya lagi ada mixer.
Dan sesaat kemudian setelah tahu keberadaan dirinya sebagian telor-telor itu mulai gelisa. Kegelisaan muncul karena ada firasat di benak mereka bahwa sebentar lagi mereka akan diproses untuk campuran pembuatan roti.
”Gawat nich, kita akan di mixer untuk pembuatan roti”
”Ntar kehadiran kita, essensi diri kita gak lagi tampak kalo dipakai untuk buat roti.”
”Di tangan pembeliku ini, harapan kita gak kesampaian nich!”
Bergantian saling ungkapkan komentar, ungkapkan kekecewaan....jangan-jangan harapan untuk diperlakukan, dimanfaat seperti keinginan telor-telor itu akan sirnah. Tapi ada telor yang tetap tenang dan tidak ikut-ikut gelisa. Akhirnya dia buka suara juga dengan nada yang teduh berusaha menenangkan teman-temannya sesama telor yang lagi gelisa.
”Teman-temanku, kita sebagai telor mengapa mesti gelisa, bingung, kecewa kalo tuan kita menjadikan kita untuk campuran pembuat roti. Memang kenapa kalo kita tidak jadi hiasan nasi kuning, telor mata sapi atau apalah......? mengapa?”
Telor yang kelihat paling gelisa angkat bicara ”Apa kamu gak dengar toh kok masih tanya mengapa, dari tadi kami itu gelisa, berkeluh kesah karena kita mau dibuat roti. Dan kalau dibuat roti artinya ketika dinikmati manusia nilai kehadiran telor tak tampak lagi, yang ada yang dilihat dan yang jadi bernilai adalah sepotong roti. Bukan telor!!”
”Oh..............itu jadi masalah toh?” sambil senyum kecut ”Adakah yang berada di sini mau setelah di beli terus di biarkan atau di masukkan lemari, terus.....dibiarkan saja dan akhirnya membusuk. Lalu jika ketahuan busuk maka di buang di tempat sampah. Ada yang mau jadi seperti itu?” diam tak ada yang bersuara. ”Kita mesti bersyukur, sebagai telor-telor baru, eh....langsung ada pembeli yang memilih kta untuk dibawah pulang. Artinya peluang untuk jadi telor busuk kecil sekali. Memang kita tidak bisa memilih untuk diapakan oleh manusia pembeli kita. Tapi kita bisa memilih untuk tetap terlihat segar dengan menikmati keberadaan kita.” ambil nafas sejenak lalu melajutkan dengan suara yang lebih berkarisma dan mempunyai daya hipnotis terhadap teman-temannya.
”Kita sebagai telor-telor ini kebahagiaan kita kan terletak pada satu hal yaitu ”kita tidak menjadi busuk dan dibuang percuma atau pecah sebelum digunakan” selebihnya dipakai menjadi apapun, dimanfaat untuk apapun tetap saja kehadiran kita sebagai telor sudah bermakna. Sekalipun bentuk fisik telornya sudah tak tampak. Tapi tenang aja.....manusia yang menikmati kehadiran kita bisa merasakan kok, sekalipun kita dimanfaatkan untuk roti kehadiran kita tetap dirasakan karena indera pengecap manusia akan menangkap rasa yang berbeda jika seloyang roti itu pakai telor atau tidak tidak pakai telor......Arti tampak atau tidak tampak kehadiran kita sebagai telor tetap mermakna dan punya arti yang bisa dinikamati tuan kita,manusia.”
”Nah, sekarang terserah kalian. Tetap memilih untuk gelisa? Atau memilih menerimanya dengan iklas bahwa digunakan sebagai apapun kehadiran kita tetap bermakna? Dan satu catatan yang perlu kita ingat bersama, kalo kita menjaga kesegaran kehadiran kita akan memberi kenikmatan lebih bagi penikmatnya.”
***
Setiap kehadiran
bukanlah sebuah kebetulan,
ketika kita memampukan diri untuk lebih jeli
menikmati dan mencerapnya, niscayah
makna kehadiran memancarkan
pesan yang sedang kita cari,
serpian insight yang sedang kita nanti
untuk melengkapi proses perjalan hidup ini.
Setiap kehadiran bermakna
meski sepertinya tiada
Seperti kehadiran kuali
Yang paling bermakna justru
Di bagian yang telihat hampa
Yaitu kekosongan yang ada di tengahnya.
Hampa, tiada, namun tetap bermakna.
Selamat menemukan makna
dalam perjumpaan dan kehadiran Anda
dengan siapapun dan di manapun berada.
Oleh : AMBROsius BATA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar